Minggu, 31 Mei 2009

KITA WAJIB PILIH PRESIDEN YANG PEDULI PENDIDIKANOleh : Muhammad Zulkifli MochtarSaat Rusia meluncurkan pesawat Sputnik keluar angkasa diakhir tahun 1957, Amerika Serikat terkejut dan merasa tertinggal dari rivalnya tersebut. Masyarakat dan Politisi AS panik, serta-merta menuding pendidikan sebagai biang keladi ketertinggalan bangsa AS dari Rusia. Presiden John F Kennedy segara menanggapi serius "rendahnya mutu" pendidikan AS saat itu dan mencanangkan program pressing mutu pendidikan. Akhirnya, tahun 1969, Neil Amstrong berhasil mendaratkan Apollo di Bulan. Inilah yang disebut Efek Sputnik Amerika, keterkejutan atas ketertinggalan yang membawa kepada kesadaran masyarakat Amerika perlunya sebuah perubahan. Bangsa kita sebenarnya sudah sangat sering dikejutkan berbagai lembaga internasional yang memberi penilaian yang tidak enak didengar�Atermasuk ketika badan internasional yang bernaung di bawah organisasi PBB, United Nations Development Programme (UNDP) mengeluarkan laporan negara-negara menurut peringkat Human Development Index (HDI) 2004. Negara kita ada di peringkat 111 dari 175 negara. Mungkin,karena persoalan mutu manusia kita yang rendah sudah sering kita dengar, makanya pemerintah biasa - biasa saja dan sama sekali tidak menanggapi serius persoalan ini. Yang memprihatinkan, menurut laporan tersebut, mengapa kualitas manusia Indonesia benar - benar jauh lebih lebih rendah dari Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83)? Mengapa kualitas kita lebih rendah dari negara-negara "terbelakang" seperti Kirgistan (110), Guinea-Katulistiwa (109), dan Aljazair (108)? Meski tidak seluruh data yang mendukung adalah data yang lengkap dan aktual, pada dasarnya HDI adalah satuan yang dikembangkan UNDP guna mengukur kesuksesan pembangunan suatu negara. HDI adalah angka yang diolah berdasarkan tiga dimensi; yaitu panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa indikator; yaitu kesehatan (dan kependudukan), pendidikan, serta ekonomi. Selama ini, hanya pendapatan saja yang sering menjadi tolok ukur kesejahteraan atau kemajuan pembangunan suatu bangsa. Tetapi HDI menggabungkan ukuran-ukuran harapan hidup, pendidikan, literasi dan pendapatan, untuk melihat pembangunan suatu negara secara lebih luas. Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian balita (under-five mortality rate), dan lainnya. Indikator kependudukan menyangkut usia harapan hidup (life expectancy), penduduk yang tak mempunyai harapan hidup sampai usia 60 tahun (people not expected to survive to age 60), dan lainnya. Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan sampai kelas lima SD (children reaching grade 5), angka partisipasi pendidikan (enrolment ratio), dan lainnya. Adapun indikator ekonomi antara lain menyangkut indeks kemiskinan (poverty index). Dari berbagai indikator itu, HDI merupakan ukuran keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu bangsa. Implikasinya, HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebaliknya, HDI yang rendah menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu negara. Yang menarik dan semestinya kita garis bawahi, Berdasarkan Laporan UNDP tersebut, Human Development Indeks Indonesia memang terus melorot semenjak 1975. Data ini bahkan sudah dikonfirmasi dengan penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan HDI Indonesia memang mengalami kemunduran terutama sejak 1996. Kecenderungan penurunan HDI ini utamanya untuk komponen angka kematian bayi dan angka bebas buta hurup di antara penduduk dewasa. Itu berarti, kualitas manusia kita tidak berkembang-berkembang dari tahun 1974,bahkan terus melorot ? Program pengembangan SDM model apa yang kita lakukan saat ini ? Sumber daya manusia kita selama kurang lebih 30 tahun tanpa peningkatan, menunjukkan betapa tidak adanya pemikiran, keseriusan dan kemauan pemerintah bangsa ini terhadap sebuah perubahan. Sampai hari ini,bangsa Indonesia bisa dikata memang masih terpuruk baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Sebagian besar masyarakat dan politikus kita menyatakan bahwa itu semua disebabkan terjadinya badai krisis di Asia yang menghantam sistem perekonomian Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu. Berawal dari sinilah selanjutnya aneka ragam krisis muncul di permukaan. Analisis seperti itu mungkin ada benarnya, akan tetapi mendudukkan krisis ekonomi sebagai satu-satunya determinan tentulah tidak tepat. Mengapa Korea Selatan,Thailand dan Malaysia sudah bisa kembali berpacu, sementara kita belum bisa sempurna berdiri tegak ? Kita semestinya sepakat bahwa sebenarnya ada faktor yang lebih fundamental sebagai penyebab keterpurukan kita; yaitu ketidakberhasilan pendidikan nasional kita. Sesungguhnyalah hari ini kita sedang menuai dampak jangka panjang atas ketidakberhasilan pendidikan nasional. Kekurangtangguhan bangsa Indonesia hari ini merupakan akibat dari perjalanan buruk pendidikan 15, 20 sampai 30 tahun yang silam. Selama ini kita kurang bersungguh-sungguh mengurus pendidikan dan hari ini kita tengah menuai dampaknya. Karena pendidikan kita tidak menghasilkan kader-kader bangsa yang berkemauan tulus dan berkemampuan profesional maka kita tidak sanggup menahan krisis; dan ketika aneka krisis sudah berkecamuk yang menghantar kita dalam keterpurukan maka kita pun sulit untuk melakukan recovery. Kita dapat belajar dari Australia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan sebagainya; ketika badai krisis menyerang negara-negara Asia mereka tetap saja survive. Kenapa? Karena mereka memiliki generasi yang tangguh untuk melawan krisis. Dan, ketangguhan ini merupakan dampak positif dari pelaksanaan pendidikan nasionalnya. Dalam soal anggaran misalnya; sejak dulu pemerintah kita tidak mau mengalokasi anggaran pendidikan dalam jumlah yang memadai. Dari tahun ke tahun rasanya belum pernah satu kali pun besarnya anggaran pendidikan kita melebihi angka 10 persen dari total anggaran negara. RAPBN 2004 hanya menganggarkan dana pendidikan sebesar 7 persen,jauh dari janji-janji 20 persen sebelumnya. Akibatnya biaya pendidikan di Indonesia terlalu mahal untuk kemampuan ekonomi masyarakat. Bukan hanya dalam perguruan tinggi, biaya pendidikan untuk sekolah dasar dan menengah masih sangat mahal bagi masyarakat kita. Biaya pendidikan yang harus ditanggung untuk memasuki sekolah sangat beragam dan jumlahnya pun sangat besar,dari uang bangunan, uang buku, uang seragam, uang ujian, belum lagi pungutan-pungutan lainnya. Dengan jumlah pengangguran tinggi dan pendapatan sebagian besar penduduk yang rendah, besarnya biaya yang harus ditanggung untuk bersekolah tidak dapat ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Kita tak mau menengok realitas ke kanan - kiri; misalnya ke Malaysia, Singapura, Australia, dan Selandia Baru yang mengalokasi anggaran pendidikan setidak-tidaknya 15 persen dari total pengeluaran setiap tahun. Anggaran pendidikan di Malaysia sangat sering mencapai angka 20 persen. Dua puluh tahun lalu Malaysia masih menjadi "murid" kita; banyak pemuda Malaysia dikirim ke Indonesia untuk menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi kita. Di sisi lain pemerintah Malaysia juga mendatangkan banyak guru, dosen, dan peneliti kita untuk mengembangkan pendidikan nasionalnya. Para pejabat pemerintah Malaysia memiliki komitmen dan sense of education yang memadai dengan mengalokasi anggaran pendidikan secara signifikan. Walhasil, Malaysia maju berkembang dengan dengan sumber daya manusia yang tangguh. Dalam Human Development Report pertama tahun 1990, UNDP mengingatkan, tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan manusia (human welfare). Dengan ini mau ditegaskan, indikator kemajuan tidak boleh dibatasi pada pendapatan per kapita, tetapi harus mencakup kemajuan pendidikan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang putra-putrinya cerdas dan matang. Hanya orang-orang cerdaslah yang dapat mengubah nasib mereka dan nasib sebuah bangsa Sekalipun kita meyakini bahwa laporan UNDP itu tidak 100 persen valid, apa salahnya kita merasa terkejut, terpukul dan menarik pelajaran dari publikasi itu ? Lebih rendahnya kualitas manusia Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan sebagian negara terbelakang harus kita akui untuk dijadikan alat pemicu dan pemacu guna perbaikan diri. Jika tidak, Implikasi ketidaksungguhan kita mengelola pendidikan hari ini akan terasa akibatnya lima belas sampai tiga puluh tahun mendatang. Saat itu, era perdagangan bebas dunia sudah berputar dan bukan mustahil, manusia - manusia kita hanya akan menjadi tenaga - tenaga pekerja dinegara sendiri. Dalam waktu dekat, bangsa Indonesia akan memilih presiden sekaligus pemerintahan baru. Presiden baru nantinya harus segera terkejut dengan kondisi sumber daya manusia,seperti bangsa AS yang pernah didera efek Sputnik. Pascaefek Sputnik, pemerintah AS menyediakan dana tak terbatas untuk pendidikan, memberdayakan daerah dan kota guna memajukan pendidikan, dan membantu unit-unit masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu. Dibanding kita kasak - kusuk berdebat mengenai bolehkah presiden perempuan,mengenai presiden dari militer atau sipil, dari golongan Orde Baru atau bukan, nasionalis atau agamis - lebih baik kita menyatukan pendapat bahwa presiden mendatang harus sosok yang bisa memajukan pendidikan bangsa. Kita harus bisa sepakat bahwa kita wajib memilih presiden yang mau peduli dengan ketertinggalan pendidikan bangsa. Seharusnya itulah kriteria nomor satu dan yang paling wajib kita dahulukan tentunya.

0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Dresses. Powered by Blogger