Minggu, 31 Mei 2009

Artikel: Kompentensi Memicu Humanisme Pendidikan

Persoalan-persoalan intern pendidikan hingga saat ini masih menjadi momok sekaligus tantangan besar bangsa Indonesia. Mulai dari sistem kurikulum pendidikan yang diajarkan selama ini, menjadikan peserta didik sebagai obyek pasif yang senantiasa siap menerima segala yang diberikan oleh pihak pengajar. Metode pembelajaran semacam itu cenderung memposisikan peserta didik sebagai manusia yang hanya dapat diam tanpa memiliki kreativitas apapun. 

Dalam ilmu komunikasi, kondisi semacam ini diibaratkan dengan adanya salah satu teori, yakni teori Peluru yang notabene peserta didik diidentikkan dengan komunikan/audience bersikap pasif terhadap respon atau stimulus yang diberikan tanpa adanya respon balik. Wajar jika hasil yang diperoleh tidak akan maksimal atapun bagus. Hal ini juga akan berimbas pada sulit terwujudnya tujuan awal yaitu upaya meningkatkan mutu pendidikan, selama ini belum mencapai pada taraf memadai yang mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pada umumnya. 

Padahal, merujuk pada kebijakan reformasi dalam pendidikan yang juga meliputi kebijakan penyelenggaraan Otonomi Daerah (Otoda) dalam pendidikan antara lain Peningkatan mutu pendidikan, Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan, Peningkatan relevansi pendidikan, Pemerataan pelayanan pendidikan (Indra Djati Sidi, 2000:6). Ditambah lagi peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan Daerah sebagai daerah otonom yang antara lain menyatakan, pusat kewenangan dalam menentukan kompetensi siswa, kurikulum dan materi pokok, penilaian nasional dan kalender pendidikan. 

Kebijakan tersebut melahirkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi di mana metode tersebut dipandang relevan di bidang pendidikan untuk saat ini. Pasalnya, peserta didik turut dilibatkan dan bukan menjadi obyek akan tetapi subyeknya pendidikan. Sebuah awal yang cukup bagus dalam upaya mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yakni turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti kita ketahui bahwa dari segi kualitas pendidikan, Indonesia menempati ranking kesekian ratus di bawah negara-negara maju dan berkembang di seluruh dunia. Ironisnya, kondisi seperti ini makin diperparah dengan masih rendahnya kualitas dan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh staf pengajar. 

Sesuai dengan persyaratan Kepala Pusat Kurikulum, Dr. Siskandar, MA. Menurutnya, kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Artinya, sesuatu yang dapat dilakukan oleh peserta didik (siswa) secara terus menerus (menetap) dianggap sebagai perwujudan dari hasil belajar siswa. Hal ini tidak berjalan statis melainkan berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. 

Pengembangan metode semacam ini lebih mendudukkan peserta didik sebagai acuan untuk menentukan materi pelajaran yang digunakan sebagai bahan untuk mencapai kompetansi yang telah ditentukan. Hal ini sekaligus memberikan hasil dan proses. Pengembangan kurikulum berorientasi pada hasil menekankan pada pemahaman, penghayatan secara komprehensif. 

Idealnya, pengembangan kurikulum berbasis kompetansi juga meliputi kompetensi lintas kurikulum, kompetensi rumpun mata pelajaran, materi pokok (kompetensi dari hasil belajar) dan terakhir indikator pencapaian hasil belajar. Dengan demikian dalam kurikulum berbasis kompetensi, mata pelajaran berfungsi sebagai wahana dan sekaligus substansi yang dikuasai oleh peserta didik, sehingga nantinya mampu menghasilkan generasi bangsa atau output yang bermutu, kreatif, inovatif dan profesional. Semoga.

Artikel: Kompentensi Memicu Humanisme Pendidikan

Persoalan-persoalan intern pendidikan hingga saat ini masih menjadi momok sekaligus tantangan besar bangsa Indonesia. Mulai dari sistem kurikulum pendidikan yang diajarkan selama ini, menjadikan peserta didik sebagai obyek pasif yang senantiasa siap menerima segala yang diberikan oleh pihak pengajar. Metode pembelajaran semacam itu cenderung memposisikan peserta didik sebagai manusia yang hanya dapat diam tanpa memiliki kreativitas apapun. 

Dalam ilmu komunikasi, kondisi semacam ini diibaratkan dengan adanya salah satu teori, yakni teori Peluru yang notabene peserta didik diidentikkan dengan komunikan/audience bersikap pasif terhadap respon atau stimulus yang diberikan tanpa adanya respon balik. Wajar jika hasil yang diperoleh tidak akan maksimal atapun bagus. Hal ini juga akan berimbas pada sulit terwujudnya tujuan awal yaitu upaya meningkatkan mutu pendidikan, selama ini belum mencapai pada taraf memadai yang mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pada umumnya. 

Padahal, merujuk pada kebijakan reformasi dalam pendidikan yang juga meliputi kebijakan penyelenggaraan Otonomi Daerah (Otoda) dalam pendidikan antara lain Peningkatan mutu pendidikan, Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan, Peningkatan relevansi pendidikan, Pemerataan pelayanan pendidikan (Indra Djati Sidi, 2000:6). Ditambah lagi peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan Daerah sebagai daerah otonom yang antara lain menyatakan, pusat kewenangan dalam menentukan kompetensi siswa, kurikulum dan materi pokok, penilaian nasional dan kalender pendidikan. 

Kebijakan tersebut melahirkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi di mana metode tersebut dipandang relevan di bidang pendidikan untuk saat ini. Pasalnya, peserta didik turut dilibatkan dan bukan menjadi obyek akan tetapi subyeknya pendidikan. Sebuah awal yang cukup bagus dalam upaya mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yakni turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti kita ketahui bahwa dari segi kualitas pendidikan, Indonesia menempati ranking kesekian ratus di bawah negara-negara maju dan berkembang di seluruh dunia. Ironisnya, kondisi seperti ini makin diperparah dengan masih rendahnya kualitas dan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh staf pengajar. 

Sesuai dengan persyaratan Kepala Pusat Kurikulum, Dr. Siskandar, MA. Menurutnya, kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Artinya, sesuatu yang dapat dilakukan oleh peserta didik (siswa) secara terus menerus (menetap) dianggap sebagai perwujudan dari hasil belajar siswa. Hal ini tidak berjalan statis melainkan berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. 

Pengembangan metode semacam ini lebih mendudukkan peserta didik sebagai acuan untuk menentukan materi pelajaran yang digunakan sebagai bahan untuk mencapai kompetansi yang telah ditentukan. Hal ini sekaligus memberikan hasil dan proses. Pengembangan kurikulum berorientasi pada hasil menekankan pada pemahaman, penghayatan secara komprehensif. 

Idealnya, pengembangan kurikulum berbasis kompetansi juga meliputi kompetensi lintas kurikulum, kompetensi rumpun mata pelajaran, materi pokok (kompetensi dari hasil belajar) dan terakhir indikator pencapaian hasil belajar. Dengan demikian dalam kurikulum berbasis kompetensi, mata pelajaran berfungsi sebagai wahana dan sekaligus substansi yang dikuasai oleh peserta didik, sehingga nantinya mampu menghasilkan generasi bangsa atau output yang bermutu, kreatif, inovatif dan profesional. Semoga.

Artikel: Menara Mutiara Pendidikan

 


Sepanjang sejarah perkembangan pendidikan telah membuktikan, bahwa kemajuan pendidikan senantiasa berpengaruh terhadap perkembangan di bidang lain seperti bidang ekonomi, sosial, technologi, dan lain-lain. karena itu, negara yang memiliki kemampuan di bidang ekonomi dan technologi senantiasa terlebih dahulu maju dalam bidang pendidikan contohnya misalnya, negara Jepang, Amerika Serikat, Cina dan lain-lain. 

Oleh karena itu tidak dapat kita pungkiri berbagai laporan hasil study baik yang berskala nasional, regional maupun internasional tentang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), mutu hasil pendidikan, dan Human Development Index (HDI) yang menunjukkan bahwa, kualitas SDM bangsa Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara-negara berkembang lainnya termasuk negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailan. Kenyataan ini tentu telah membuka mata kita bahwa dunia pendidikan di Indonesia memiliki mutu yang sangat rendah. Menyadari akan hal tersebut, maka tuntutan akan perubahan kebijakan, seperti desentralisasi pendidikan, pola pendekatan managemen/pengelolaan dan kelembagaan pendidikan serta sistem pendidikan/kurikulum dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan menjadi suatu keharusan . 

KONSEP KEBIJAKAN BIDANG PENDIDIKAN 

1. Desentralisasi Pendidikan 
Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dan sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, perubahan yang signifikan juga telah terjadi dalam tataran konsep reformasi pendidikan yang mencakup perubahan pendidikan di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Paradigma pengelolaan pendidikan yang sentralistik telah berubah menjadi desentralistik. Tanggung jawab pendidikan bergeser dari pemerintah pusat (meskipun bukan meniadakan samasekali) kepada pemerintah daerah. Dalam pengambilan keputusanpun, pemerintah daerah memegang peranan penting misalnya saja dalam menentukan kualitas serta kualifikasi guru yang diperlukan, kewenangannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Demikian pula penyusunan rencana, program dana pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali potensi dan memobilisasi sumber dana dari masyarakat di daerahnya. 

2. Pendekatan Pengelolaan dan Kelembagaan Pendidikan 
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, telah pula dikembangkan pendekatan pengelolaan sekolah yang sesuai dengan semangat otonomi di bidang pendidikan. Pendekatan yang baru kita kenal dengan istilah Managemen Berbasis Sekolah (MBS) ini adalah sebuah pendekatan yang semakin mendekatkan lingkungan dimana sekolah itu berada dengan sekolah itu sendiri. Pendekatan ini mengedepankan kebutuhan dan harapan masyarakat lokal untuk menjadi bagian yang penting dalam proses pendidikan di sekolah. 
Di tingkat Daerah, untuk mendukung operasional pengelolaan sekolah dengan pendekatan School Base Managemen (managemen berbasis sekolah) ini secara kelembagaan dibentuk di tingkat daerah Dewan Sekolah dan di masing-masing sekolah di bentuk Komite Sekolah. Ke dua lembaga ini dari susunan personalianya adalah refrensentasi dari semua unsur (stakeholder) yang berkepentingan dan bertanggung jawab terhadap jalannya proses pendidikan di sekolah. Oleh karena itu dari sisi konsep pendekatan Pengelolaan dan konsep kelembagaan persoalan pendidikan sebenarnya sebagaimana yang saya istilahkan sudah merupakan sebuah mutiara yang sangat berkilauan. 

3. Kurikulum (Sistem Pendidikan) 
Sedangkan masalah sistem pendidikan (Kurikulum) nasional harus senantiasa memerlukan pembaharuan seiring dengan perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang begitu cepat. Karena sistem pendidikan yang baik adalah sistem pendidikan yang memproyeksikan antisipasi terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang. Oleh karena kualitas sistem pendidikan yang barometer kebehasilan pelaksanaannya hanya dapat diukur dari kualitas output (hasil)nya maka, tidak dapat dilihat pada saat dimulai pelaksanaannya , akan tetapi dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya pada saat hasilnya dikeluarkan minimal sekitar periode 3 s/d 6 tahun yang akan datang. 
Demikian cepatnya perubahan tuntutan kebutuhan masyarakat seiring dengan perkembangan global maka, Apabila sistem pendidikan disusun berdasarkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat saat ini, kemungkinan outputnya tidak akan memenuhi tuntutan masyarakat pada masa yang akan datang. Hal inilah yang terjadi di Indonesia selama ini, karena sebaik apapun konsep sistem pendidikan yang dikeluarkan apabila tidak mengandung antisipasi terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang, maka ia akan cepat menjadi out of date (usang). Sebenarnya bukanlah hal yang keliru apabila selama ini, setiap terjadi pergantian menteri akan akan diiringi perubahan bahkan penggatian kurikulum. Perubahan itu memang sudah seharusnya terjadi karena perkembangan global yang mempengaruhi perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat jauh lebih cepat dari proyeksi kurikulum itu sendiri. 

Yang senantiasa menjadi persoalan dalam setiap perubahan sistem pendidikan adalah persoalan pemahaman secara merata di tingkat praktisi pendidikan yang sangat lamban, disebabkan karena setiap perubahan tidak diikuti dengan sosialisasi yang memadai, sehingga implementasinya di lapangan tidak bisa sempurna.. Konsekwensinya adalah kualitas lulusan (output quality) jauh dari pemenuhan tuntutan kebutuhan masyarakat, rendahnya klualitas outcome tercermin pada meningkatnya jumlah pengangguran (unemployment), image masyarakat terhadap setiap perubahan tersebut kurang menguntungkan. 

Atas dasar pemikiran seperti di atas, saya melihat implementasi perubahan dengan dikenalkannya kebijakan baru yang kita kenal sekarang ini dengan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang berorientasi pada hasil belajar adalah sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan arus reformasi yang terjadi pada saat ini, tetapi juga mengandung rumusan kebutuhan di masa yang akan datang. Hanya saja bagaimana implementasinya di lapangan sangat bergantung pada adanya kemauan yang sungguh-sungguh (good will) dari pemerintah dan poemerintah daerah untuk benar-benar memperhatikan masalah pendidikan. 

Dalam konteks lokal kurikulum ini memberikan keleluasan kepada setiap daerah untuk menentukan kualifikasi lulusan serta untuk mencapai mutu pendidikan yang diinginkan dengan caranya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi menutut setiap daerah untuk memahmi kebutuhannya sendiri di daerah. Demikian juga diperlukan standar kompetensi dasar lulusan yang dapat dipertanggung jawabkan dalam konteks lokal, nasional dan global. 

Kalau kita cermati konsep sistem pendidikan/kurikulum berbasis kompetensi ini, adalah sebuah sistem yang sangat maju, karena mampu mengakomodasi keanekaragaman kondisi lingkungan, budaya, etnis, dan mampu mengakomodasikan berbagai perbedaan siswa dalam hal potensi akademik, latar belakang sosial ekonomi, minat, bakat dan kegemarannya. Oleh karena itu konsep kurikulum ini dapat pula saya istilahkan sebagai sebuah konsep mutiara pendidikan yang cemerlang. 

TINGKAT OPERASIONAL PENDIDIKAN 

Keinginan untuk mewujudkan hasil pendidikan yang bermutu tentu saja tidak hanya ditentukan oleh adanya konsep kebijakan yang baik, konsep pendekatan dan kelembagaaan pendidikan yang bagus, dan konsep sistem pendidikan yang bagus pula, akan tetapi di tingkat praktis/operasional sangat dominan peranannya, bahkan di tingkat operasional inilah yang akan mewujudkan konsep itu menjadi bermakna atau tidak. Dalam tataran operasional kualitas proses sangat signifikan peranannya dalam menentukan mutu suatu pendidikan. Apabila prosesnya tidak berkualitas, betapapun bagus konsepnya maka, hasilnya akan kurang memenuhi standar mutu yang diharapkan. 

KUALITAS PROSES 

Untuk mewujudkan semua konsep kebijakan pendidikan yang menyangkut kebijakan desentralisasi pendidikan, pendekatan pengelolaan dan kelembagaan pendidikan serta sistem/kurikulum dapat menjadi bermakana adalah ujung tomabaknya pada tingkat proses pendidikan yang berkualitas . Dalam upaya mendukung pelaksanaan proses pendidikan yang berkualitas paling tidak ada tiga unsur yang sangat menunjang yaitu, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), ketersediaan Sarana Prasarana/fasilitas yang memadai, dan Kemampuan finansial yang cukup. 

A. Kualitas Sumber Daya Manusia 
Kualitas sumber daya manusia sangat menentukan misalnya dalam hal pola managemen kepemimpinan di sekolah, dan metode pengelolaan di dalam kelas (oleh guru). Kepemimpinan kepala sekolah haruslah dapat menciptakan suasana yang kondusif dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah antar guru dan siswa. Guru yang profesional dan efektif dapat menajmin proses pemebelajaran menjadi berkualitas dan dapat mencapai keberhasilan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa, peranan guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. 
Hal tersebut sangatlah rasional, karena ketika terjadi proses belajar mengajar guru bisa melakukan apa saja yang dia kehendaki terhadap peserta didik. Guru yang profesional tentu tahu tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru. Guru yang efektif akan selalu berupaya mencapai tujuan pemebelajaran yang sudah ditetapkannya. 
Akan tetapi sebaliknya karena besarnya otoritas guru didalam kelas, jika ia tidak profesional dan tidak efektif Proses pembelajaran akan menjadi sia-sia. Bahkandia bisa mematikan kretifitas siswa dan menumpulkan daya nalar. 

B. Sarana Prasarana/Fasilitas 
Apabila sarana dan prasarana/fasilitas tidak tersedia, maka mustahil proses pembelajaran bisa berlangsung. Kualitas proses pembelajaran juga sangat ditentukan oleh ketersedian sarana dan prasarana yang memadai. Adanya gedung sekolah yang dilengakapi dengan fasilitas lain seperti tempat duduk, meja, laburaturium, sarana perpustakaan, buku/alat belajar dan lain-lain adalah sarana yang sangat dibutuhkan untuk sebuah keberhasilan dalam proses pendidikan.Semakin lengkap sarana belajar yang tersiedia semakin besar kemungkinan mencapai keberhasilan dalam proses pembelajaran. 

C. Kemampuan Finansial 
Dana pendidikan juga sangat penting artinya untuk operasional, terutama dalam hal pengelolaan sekolah seperti pemeliharaan sarana dan fasilitas, gaji guru yang memadai, dan pembiayaan lain yang berkaitan dengan operasinal pendidikan. 
Realitas menunjukkan tidak ada lembaga pendidikan (sekolah) yang memiliki kemampuan finansilal rendah menjadi sekolah favourit. 

FAKTA-FAKTA BERBICARA LAIN 

Persoalan yang masih terus terjadi ketika konsep mutiara pendidikan yang sangat cemerlang tersebut sebagai suatu pembaharuan dan perubahan dalam dunia pendidikan yang sangat esensi adalah dalam implementasinya. Kenyataannya hal itu sulit dapat diwujudkan, setidaknya karena pemahaman di tingkat praktisi (guru) dan pengawas pendidikan tentang konsep tersebut tidak kompehensif dan merata, dan hanya sebagian kecil saja yang bisa memahami dengan baik, bahkan di tingkat kepala sekolah pun belum dapat dipastikan semuanya sudah memahmi konsep tersebut. Konsep itu masih sebatas sebagai konsumsi ditingkat pejabat pendidikan, karena sosialisasinya sampai ke tingkat praktisi tidak cukup memadai. 

Efektifitas penerapan konsep kebijakan baru dalam pendidikan ini, sangat bergantung kapada adanya 3 faktor berikut yaitu, political will (kemauan politik) pemerintah daerah, komitmen yang jelas dari pejabat pendidikan, pemahaman yang komprehensif serta kemauan untuk merubah kerangka berpikir yang sesuai dengan konsep kebijakan tersebut oleh para praktisi pendidikan di lapangan seperti kepala sekolah, pengawas pendidikan, guru, dsb. 

Mengingat upaya penerapan konsep kebijakan tersebut secara efektif belum optimal dan menyeluruh, terutama indikasinya dapat dilihat dari sejauh mana ke tiga faktor tersebut diatas dapat tercermin dalam konsep pemikiran dan kebijakan para pejabat pendidikan dan prilaku para praktisi, maka saya dapat memastikan konsep itu dalam istilah saya hanyalah sebuah menara yang letaknya amat tinggi yang hampir mustahil akan dapat membumi. Karena itulah saya sebut sebagai Konsep Menara Mutiara Penidikan. Sebuah Konsep yang sangat cemerlang dan indah, namun hanya sebatas konsep yang masih berada dalam benak penguasa semata saat ini. 

Meskipun masalah pendidikan sering menjadi sorotan para politisi, namun hanya sebatas sebagai komoditas politik yang selalu ditenteng sebagai bagian yang esensi dalam prgoramnya untuk menarik simpati masyarakat semata. Dan kenyataannya dunia pendidikan kita tidak pernah berubah secara komprehensif.

Artikel: Pendidikan nilai

Tahun-tahun terakhir ini pelajar kita selalu membanggakan dalam setiap Olimpiade fisika Internatsional, baru-baru ini dua pelajar meraih penilaian tertinggi dan meraih dua emas dalam olimpiade Fisika di salamanca. Menurut informasi yang saya dapat pelajar kita secara individual sangat hebat (intelektual) artinya tidak kalah dari bangsa maju lainnya. 

Tetapi apakah mereka yang secara intelektual pintar, apakah hatinya juga pintar??. Sekolah kita banyak sekolah menekan segi kognitif dari pada segi afeksi. Guru hanya mengejar target instruksional saja sementara target jangka panjang yaitu nilai-nilai apa saja yang ditanamkan pada siswa agar ia dapat hidup terabaikan. 

Saya sangat resah melihat,mendengar berita-berita di media betapa korupsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangsa ini, orang-orang yang dulu saya anggap bersih ternyata terjerat dalam "budaya korupsi" lalu saya mulai berpikir apa yang salah pada bangsa ini? sistem pendidikan kah?. 

Masih banyak dalam PILKADA diwarnai dengan adu otot bukan adu otak, mereka memaksakan kehendak pada segolongan orang lain, tak adakah jalan yang lebih baik? Penerimaan murid baru banyak sekali diwarnai pungutan-pungutan liar dan memaksakan penjualan buku dengan dalih apapun yang seolah-olah dibuat mengutungkan siswa, di mana letak hatimu guru?. 

Pendidikan nilai menjadi keharusan bagi sekolah untuk mulai diterapkan.Pendidkan nilai (kejujuran, disiplin,saling menghargai,cinta lingkungan,daya juang, bersyukur, gender dan lain-lain) bukan merupakan tanggung jawab guru agama dan kewarganegaraan saja tetapi tanggung jawab semua guru. 

Dalam silabus guru mencantumkan nilai-nilai apasaja yang akan ditekankan dalam setiap materi pengajaran. Sebetulnya didalam Kurikulum pemerintah pendidikan nilai secara implisit sudah ada. Nilai-nilai yang ditekankan merupakan dampak pengiring di samping guru menekan dampak instruksional. Misalkan bagaimana guru menekankan nilai kejujuran pada siswa, yaitu bisa dengan berbagai cara, bisa saja guru memakai metode praktikum, yaitu siswa diharuskan jujur dalam menyampaikan data yang diperoleh dan beri nilai berbuat jujur. 

Dalam keseharian guru harus menunjukkan sikap jujur, ini penting karena guru sebagai model. Dalam diskusi juga ditekakan bagaimana siswa menghargai pendapat orang lain dengan tidak terlalu awal melakukan pada penilaian pada pendapat orang lain, dan yang penting lagi guru melakukan pembelajaran reflektif, melihat kembali apasaja yang sudah dilakukan oleh siswa dan guru bukan hanya kognitif saja tetapi juga afeksi. Mudah-mudah kita dapat melahirkan generasi yang tidak korup, menghargai orang lain, memiliki disiplin tinggi, hormat, memiliki daya juang, bangga berbangsa indonesia dan lain-lain.

POTRET DUNIA PENDIDIKAN 
Menakar Sumber Daya Manusia Indonesia 
Oleh Lidus Yardi 

Bum! Dentuman bom atom yang jatuh di Nagasaki dan Hiroshima, Jepang, pada tahun 1945 itu pun menjadi catatan sejarah dunia. Jepang porakporanda. Bertepatan dengan tahun yang sama di Indonesia, tepatnya 17 Agustus 1945, bangsa kita merayakan kemerdekaan sebagai tanda lepasnya dari tangan penjajahan. Negara Jepang hancur, Indonesia merdeka. Logika berbicara, negara yang cepat maju karena lebih awal berkesempatan membangun diri tentu bangsa kita, Indonesia. Api jauh dari panggang, realita menunjukkan fakta sebaliknya, saat ini Jepang lebih unggul membangun diri dan jauh meninggalkan Indonesia. 

Kunci kesuksesan negara Jepang membangun diri adalah, peduli terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia dengan cara memperhatikan pendidikan masyarakatnya. Langkah awal yang dilakukan pemerintah Jepang pascabom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 1945 itu adalah, mengirim pelajar-pelajar Jepang ke luar negeri untuk belajar dengan misi membangun Jepang kembali. Buku-buku barat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang agar mempermudah transfer ilmu pengetahuan dan teknologi barat. Kemudian buku-buku pengetahuan itu dijual dengat sangat murah sehingga mempermudah masyarakat memperolehnya. Dari situ timbullah kegemaran membaca pada sebagian besar masyarakat Jepang. 

Jepang sadar betul ujung tombak pendidikan adalah guru. Maka pemerintah dan masyarakat Jepang sangat menghargai sosok seorang guru, baik secara finansial maupun moral. Bayangkan untuk guru yang baru mengajar saja Jepang berani memberi honor sebesar 200 ribu yen atau sekitar Rp16 juta per bulan. Dan untuk guru honor senior di Jepang gajinya bisa mencapai 500 ribu yen atau sekitar Rp40 juta. Tidak heran bila dedikasi tercurah penuh terhadap profesi guru karena kerja mereka dihargai secara pantas. Robert C. Christopher, mantan koresponden majalah Newsweek yang tinggal di Jepang pernah berujar, "lihatlah sikap para guru Jepang, perhatian mereka sampai ke totalitas kehidupan murid mereka". 

Bagaimana di Indonesia? 

Pendidikan masyarakat Indonesia jauh tertinggal. Hal ini didukung oleh kurangnya perhatian pemerintah. Kalaupun ada perhatian namun tidak dikelola secara serius dan profesional. Di tambah pula proses manajemen yang tidak transparan dan kebijakan yang tidak tepat sasaran, semakin membuat dunia pendidikan bangsa kita dirundung persoalan. Tak heran, kalau bicara tentang pendidikan nasional terkesan selalu yang buruk-buruknya saja. 

Setiap ada perubahan menteri, persoalan yang hangat diperbincangkan selalu berkutat pada masalah undang-undang, kurikulum, kebijakan ujian, insensif para guru dan keterbatasan anggaran. Namun demikian kebijakan yang diambil selalu saja mengecewakan. Padahal negara kita dianggap salah satu negara yang memiliki sumber daya alam yang memadai sebagai modal utama untuk membangun negara. Namun kenyataannya kemiskinan dan pengangguran tetap mejadi musuh utama serta terus merasa kurang dalam pendanaan. Kita mungkin sudah lupa bahwa kemajuan sebuah bangsa terletak dari baik-buruknya kualitas manusia atau indeks pembangunan manusianya. Hal inilah yang disadari betul oleh negara Jepang sehingga mampu menjawab persoalan dan bangkit dari keterpurukannya terutama pasca perang dunia II. 

Jhon Neisbitt dalam bukunya Mega trend 2000 mengingatkan kita dengan mengatakan: "Suatu negara miskin pun bisa bangkit, bahkan tanpa sumber daya alam yang melimpah ruah, asalkan negara yang bersangkutan melakukan investasi yang cukup, yaitu dalam hal kualitas sumber daya manusianya". 

Bagaikan lingkaran setan 

Rendahnya perhatian pemerintah akan perlunya pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas menyebabkan terjadinya kemerosotan di dunia pendidikan. Akibatnya, terjadi peningkatan kemiskinan dan pengangguran yang disusul merebaknya tindakan kejahatan di tengah masyarakat. Kebodohan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan terhalangnya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Karena tidak berpendidikan dan tidak memiliki pengalaman apapun, menjadi pengangguran dan melakukan tindakan deviant (menyimpang). Kebodohan, pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan tindak kejahatan, begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan. 

Tidak heran bila persoalan kemiskinan ini pulalah yang dianggap sebagai permasalahan utama yang harus dihadapi oleh negara-negara Asia-Afrika ke depan, sebagaimana yang disampaikan oleh sejumlah pemimpin negara yang ikut dalam peringatan ke-50 tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KAA) yang belum lama ini diselenggarakan di Jakarta. 

"Lingkaran setan" di lembaga dunia pendidikan itu, begini ceritanya. Ada tuduhan yang menyebabkan rendahnya mutu mahasiswa Indonesia disebabkan Perguruan Tinggi (PT) yang tak berkualitas. PT lalu menyalahkan sekolah menengah tingkat atas (SMA) yang tidak becus memproduksi calon mahasiswa. Pihak SMA kemudian menyalahkan sekelohah menengah tingkat pertama (SMP) yang tak berhasil mendidik muridnya. Pihak SMP pun menyalahkan sekolah tingkat dasar (SD) yang tak becus mendidik anak-anaknya. Lalu pihak SD pun menuduh pihak PT tidak becus memproduksi calon guru yang berkualitas dalam mengajar. Begitulah seterusnya bagaikan lingkaran setan. Sebuah dilema. Memang. 

Menakar SDM Indonesia 

Ada beberapa faktor yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan dalam pendidikan. Faktor-faktor itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, faktor perangkat keras (hardware), yang meliputi ruangan belajar, peralatan praktik, laboratorium, perpustakaan; kedua, faktor perangkat lunak (software) yaitu meliputi kurikulum, program pengajaran, manajemen sekolah, sistem pembelajaran; ketiga, apa yang disebut dengan perangkat pikir (brainware) yaitu menyangkut keberadaan guru (dosen), kepala sekolah, anak didik, dan orang-orang yang terkait di dalam proses pendidikan itu sendiri. 

Dari tiga kelompok faktor di atas, maka yang menjadi penentu suksesnya belajar dan berhasilnya suatu pendidikan sangat (dominan) ditentukan oleh faktor tenaga pendidik, dalam hal ini guru di sekolah dan para dosen di Perguruan Tinggi. Meskipun di suatu sekolah dan perguruan tinggi fasilitasnya memadai, bangunannya bertingkat; meskipun kurikulumnya lengkap, program pengajarannya hebat, manajemennya ketat, sistem pembelajarannya oke, tapi para tenaga pengajarnya (guru/dosen) sebagai aplikator di lapangan tidak memiliki kemampuan (kualitas) dalam penyampaian materi, cakap menggunakan alat-alat tekhnologi yang mendukung pembelajaran, maka tujuan pendidikan akan sulit dicapai sebagaimana semestinya. Mantan Mendikbud, Fuad Hassan, pernah mengingatkan, bahwa tanpa guru yang menguasai materinya mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana yang diidealkan. 

Tingkat kenerja dan kualitas para tenaga pendidik (guru atau dosen) di Indonesia pernah menjadi sorotan. Seperti studi yang dilakukan Asia Week dalam Asia's Best Universities 2000. Studi tersebut membuktikan bahwa kualitas dosen di Indonesia masih sangat rendah dan belum memadai. Dari 77 perguruan tinggi terbaik di kawasan Asia dan Australia, ternyata kualitas dosen Universitas Indonesia (UI) Jakarta hanya menempati urutan ke-62. Selanjutnya Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di peringkat ke-76, dan paling 'kincik' adalah UGM Yogyakarta dengan peringkat ke-77. Rendahnya mutu kualitas guru dan dosen kita, menurut Prof. Dr. Ki Supriyoko (Kompas, 2002) disebabkan oleh belum tumbuhnya kebiasaan membaca dikalangan guru dan dosen itu sendiri. 

Sikap guru 

Di samping faktor penyebab rendahnya kualitas tenaga pendidik di atas, apa yang disebut dengan "On going Formation" terhadap guru penerapannya juga dinilai salah kaprah selama ini. Menurut ahli pendidikan, J Drost (2002), on going formation bermakna "kegiatan membentuk atau mewujudkan". Maksudnya, membentuk atau mewujudkan mutu guru secara terus menerus sebagai guru. Kegiatan on going formation selama ini oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dilaksanakan lewat penataran. Namun apa yang diberikan dalam penataran itu biasanya bukan yang dibutuhkan guru. Di tambah lagi penatarnya yang tidak lebih bermutu pengetahuannya dan juga tidak lebih lama pengalamannya dari para petatar. Kesan yang timbul, penataran yang sering dilakukan buat guru hanya sekedar menutupi kekurangan karena studi yang tidak beres. 

Oleh sebab itu kata J Drost, on going formation yang amat berguna ialah pengalaman, bukan rutin mati di depan kelas; bukan sibuk dengan buku pegangan. Pengalaman adalah hasil sikap tanggap atas setiap kejadian yang terjadi disekitar lingkungannya selama 24 jam sehari, dan mengelolanya menjadi milik mental. Yaitu dengan cara mencari kesempatan untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Hal itu bisa ditempuh oleh seorang guru melalui surat-surat kabar, majalah-majalah, buku-buku, dan bahan bacaan lainnya, menghadiri seminar-seminar atau loka karya yang berguna baginya sebagai pengajar dan pendidik. 

Yang lucunya, banyak guru dan dosen yang menyuruh anak didiknya membaca dan rajin ke pustaka, tetapi guru dan dosennya sendiri jarang membaca ke pustaka. Seakan-akan pustaka hanya milik siswa dan mahasiswa. Ironisnya, kata Prof. Dr. Ki Supriyoko, ada dosen yang malu ke pustaka karena takut dikatakan bodoh oleh mahasiswanya. Bila diteliti, jarang ada bacaan yang bermutu di ruang kerja para guru dan dosen, di rumah terlebih lagi di sekolah. 

Ada satu pengalaman dari hasil pengamatan penulis ketika melaksananakan Praktek Pengajaran Lapangan (PPL) beberapa tahun yang lalu (2002) di Pekanbaru. Di mana, guru di sekolah lebih banyak membawa bekal makan siang ketimbang mengisi tas dengan buku bacaan atau majalah. Begitu juga di ruang kerja para dosen di kampus-kampus, yang sering ditemukan cuma televisi, onggokan skripsi, beberapa tropi, serta secangkir teh dan kopi. 

Sehingga untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pengajaran di sekolah-sekolah atau di PT-PT saja, acapkali kita mendatangkan tenaga kependidikan dari luar negeri. Kasus Riau misalnya, pernah diberitakan bahwa daerah Bengkalis mengontrak para guru Malaysia untuk mengajar di bidang eksakta dan Bahasa Inggris. Padahal dahulunya, negara Malaysialah yang meminta para guru kita untuk mengajar di sekolah-sekolah mereka. Ironis! Inilah kenyataannya, bahwa kualitas tenaga pendidik kita, suka tak suka kita akui memang jauh tertinggal. 

Rendahnya kualitas atau ke-profesionalan tenaga pendidik dapat memberi dampak kepada sikap dan cara mereka selama proses pengajaran dan pendidikan berlangsung. Para guru demikian pula dosen sering ingin "menjadi dirinya sendiri". Maksud penulis, yaitu guru dan dosen yang tidak mau memahami realitas yang ada diluar dirinya. Guru dan dosen seperti ini sering menggunakan senjata "nilai" ketika menghadapi anak didik dan menunjukan sikap wibawa yang terlalu dipaksa. Guru dan dosen seperti ini tidak mampu memahami realitas secara objektif, dan acapkalai memaksakan kehendaknya. Sehingga antara mereka dan anak didik tidak terjalin suatu dealetika yang harmonis. Tanpa disadari semua itu telah menjauhkan diri mereka dari hati nurani para anak didik. 

Hal ini yang diistilahkan oleh Paulo Freire (1999) dengan pendidikan "gaya bank". Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme antara guru dan murid, yaitu: Guru mengajar, murid belajar; Guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa; Guru berpikir, murid dipikirkan; Guru bicara, murid mendengarkan; Guru mengatur, murid diatur; Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya; dan sebagainya. Hal demikian sering terjadi di dunia pendidikan kita. Guru dan dosen menjelma menjadi manusia "asing" bukan lagi sebagai fartner murid-murid dalam proses belajar mengajar yang demokratis dan membebaskan. 

Belum lama ini beberapa kepala sekolah dan beberapa pihak anggota dinas pendidikan di salah satu Kabupaten di Riau mengadakan studi banding tentang KBS dan KBK di tiga negara yaitu Malaysia, Thailand, dan Singapura. Yang lucu ketika pulang dari tiga negara yang dikunjungi itu ternyata sebagian guru cuma membawa mainan kunci, salak pondo, dan mangga yang diawetkan ke sekolahnya. Kan mendingan sebuah buku atau cerita kiat sukses pendidikan di negara-negara itu sambil membuat laporannya dalam bentuk tulisan di media massa ketimbang membawa mainan kunci? 

Sederet kisah perilaku tenaga pendidik kita ternyata belum usai. Di perguruan tinggi terutama dalam proses pembuatan skripsi, ada sebagian dosen pembimbing yang acuh, bahkan ada yang berkata kepada mahasiswa bimbingannya: "Saya butuh kamu atau kamu butuh saya!". Sehingga dosen yang jarang tampak di kampus itu harus ditunggu dan dicari ke sana-sini. Bukankah seharusnya, sebagai dosen pembimbing sebaiknya mempermudah urusan skripsi yang dibuat sebagai rasa tanggung jawab terhadap amanah. 

Persoalan ini pernah disinggung (atau diakui) oleh Ali Khomsan (guru besar IPB) dalam tulisannya Strategi Percepatan Pendidikan Pascasarjana (Republika, 13 Februari 2002). Ali mengatakan, salah satu kelemahan dalam proses pembimbingan mahasiswa selama ini, adalah kurangnya monitoring dosen pembimbing terhadap mahasiswanya. Seolah-olah mahasiswa sendiri yang harus bertanggung jawab apakah ingin lulus tepat waktu atau mau berlama-lama di kampus. Kalau mahasiswa tidak datang kepadanya, dosen merasa tidak rugi karena justru waktunya bisa digunakan untuk kegiatan yang lain. Padahal, kemampuan meluluskan mahasiswa secara tepat waktu adalah komitmen yang harus dipegang oleh semua dosen pembimbing. 

Ali menceritakan pengalamannya ketika studi S3 di Amerika. Bahwa pembimbingnya rela mengendarai mobil sejauh 100 km untuk mengantarkannya ke suatu tempat untuk mencari data sekunder yang dibutuhkannya. Selanjutnya jadwal konsultasi selalu tepat waktu dan diberikan secara luas. Lalu bagaimana di Indonesia? Jangankan tepat waktu, jadwal untuk konsultasi saja terkadang tidak diberikan. Sehingga acapkali mahasiswa menunggu pembimbingnya berjam-jam di kampus. 

Meningkatkan kualitas guru atau dosen dan memperhatikan kesejahteraan hidup para "Umar Bakri", adalah kunci lain untuk mencapai dunia pendidikan yang bermutu. Tesis ini diyakini oleh banyak negara, seperti Australia. Ketika para menteri pendidikan negara-negara bagian Australia berkumpul di Adelaide, mereka sepakat untuk konteks milinium ke-3 akan membangun bangsa dengan cara peningkatan kualitas pendidikan yang dimulai dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Oleh sebab itu di Australia guru sangat dihargai, dan gajinya sangat memadai. Sehingga banyak master dan doktor tidak malu-malu menjadi guru (bukan dosen) untuk mengajar di tingkat sekolah menengah atau sekolah dasar (SD) sekalipun. Begitu juga di Jepang, masyarakat dan pemerintahan Jepang sangat menghargai dan menghormati keberadaan guru di negaranya. 

Musuh kita 

Kebodohan, kemiskinan, pengangguran dan tindak kejahatan adalah musuh utama kita dan persoalan besar. Oleh sebab itu harus ditangani secara 'besar', transparan, profesional, serta tepat sasaran. Terutama pada sektor pendidikan. Bila tidak peningkatan kualitas manusia ini dan usaha mencapai ke arah itu akan tetap berjalan ditempat. Kemudian teknologi dan informasi, atau penyediaan infrastruktur seperti kelancaran jalan dan komunikasi, adalah persoalan besar pula. Sebab itu, aspek ini sesekali jangan pula diabaikan. Bila diabaikan kita akan kembali berada dalam sebuah "lingkaran setan" yang menyesatkan. Semoga tidak. Wallahua'lam.

Artikel:
Pendidikan dan Mitigasi Bencana Alam;

Puluhan ribu anggauta masyarakat tak berdaya yang tinggal disepanjang pantai barat Aceh dan Sumatera Utara direnggut hidupnya oleh si pembunuh massal yang bernama Tsunami. Diantara mereka yang mati, hilang tak tentu rimbanya, luka parah dan putus asa, adalah anak-anak yang tak berdosa, generasi penerus dan anak didik yang diharapkan dimasa datang dapat menjadi pilar-pilar keluarga, masyarakat dan negara. 

Kiita tidak akan bisa menyalahkan 'Tsunami' si pembunuh berdarah dingin yang tidak pandang bulu dalam menentukan korbannya. Karena si Tsunami adalah bagian dari fenemona alam yang tidak mungkin dapat dihindari kedatangannya, diundur kemunculuannya dan diredakan kemarahannya oleh manusia biasa seperti kita ini. 

Kalau kita tidak boleh menyalahkan si Tsunami sebagai pembuat ulah penyebab dari kematian dan kehilangan yang sangat besar dari sebagian keluarga kita, lalu siapa yang harus kita salahkan?. Siapa lagi kalau bukan sekelompok birokrat di pusat, di propinsi, di kabupaten, di kecamatan yang seharusnya dapat melindungi, mendidik, mengajari, membimbing seluruh anggauta masyarakat. Khususnya mereka yang hidup atau tinggal di sepanjang garis pantai di seluruh Indonesia. 

Dalam wacana ilmu Disaster Preparedness atau Manajemen Bencana Alam, bagi Negara kita hidupnya dikelilingi oleh sejumlah ancaman bencana alam, mulai dari bahaya Letusan Gunung Api, Banjir, Kebakaran Hutan sampai kepada Gempa Bumi, yang dapat memicu timbulnya Tsunami. Sudah semestinya masyarakat kita dibekali dengan pengetahuan tentang bahaya-bahaya bencana alam tersebut diatas, mulai dari anak-anak bersekolah di TK, SD dan selanjutnya, bahkan seluruh anggauta masyarakat umum yang terkait, seperti keluarga nelayan dll. 

Kita lantas patut kecewa berat, kalau kedatangan si pembunuh tsunami bisa dengan seenaknya mencabuti nyawa keluarga kita. Hanya karena mereka tidak tahu sama sekali kalau surutnya air laut dibibir pantai dengan cepat sebenarnya adalah ancaman dari datangnya bahaya gulungan tsunami yang sangat dahsyat. Petunjuk semacam ini, bisa ditemui dalam buku-buku anak sekolah dasar di beberapa Negara maju diseputar Samudra Pasifik. Bahkan masyarakat umum disana sudah mengenal betul karakteristik dari sejumlah ancaman Bencana yang rawan terjadi dilingkungan kehidupan mereka. Karena pemerintah sangat aktif memberi informasi Pra-Bencana melalui media, website, pelatihan secara kontinyu dan intens. 

Sebagai contoh materi sosialisasi atau pembekalan kepada masyarakat yang diberikan pemerintah, adalah bahan yang sifatnya sederhana, antara lain 'safety rules' dalam menghadapi bahaya tsunami: 

Important Facts to Know about Tsunamis (dari Tsunami Research Center Hawaii) 

.Tsunamis that strike coastal locations are most always caused by earthquakes. These earthquakes might occur far away or near where you live. 

.Some tsunamis can be very large. In coastal areas their height can be as great as 30 feet or more (100 feet in extreme cases), and they can move inland several hundred feet. 

.All low-lying coastal areas can be struck by tsunamis. 

.A tsunami consists of a series of waves. Often the first wave may not be the largest. The danger from a tsunami can last for several hours after the arrival of the first wave. 

.Tsunamis can move faster than a person can run. 

.Sometimes a tsunami causes the water near the shore to recede, exposing the ocean floor. 

.The force of some tsunamis is enormous. Large rocks weighing several tons along with boats and other debris can be moved inland hundreds of feet by tsunami wave activity. Homes and other buildings are destroyed. All this material and water move with great force and can kill or injure people. 

.Tsunamis can occur at any time, day or night. 

.Tsunamis can travel up rivers and streams that lead to the ocean. 

Bagi anak TK, SD dan Sekolah Lanjutan setingkat SMP dan SMA, dibuat buku bimbingan yang praktis dan sistematis dalam menghadapi bahaya gempa, tsunami maupun ancaman tornado. 

Sekarang kalau kita sudah tahu akar permasalahannya, mengapa banyak jatuh korban sia-sia hanya karena factor 'ketidak tahuan' saja. Fakta menunjukkan, setelah terjadi gempa dengan skala Richter pada angka 9.00 MMI, penduduk Kota Sabang malah gembira melihat air laut yang tiba-tiba menyusut drastis, dan mencari ikan mengglepar-glepar tanpa menyadari bahaya besar yang mengancamnya. Kalau saja peristiwa alam seperti itu terjadi di pantai sepanjang Lautan Pasifik, masyarakat seketika akan ingat pada tsunami 'safety rules' yang pernah diajarkan dan dibacanya. Mereka akan segera lari menuju ketempat yang lebih tinggi, naik keatas lantai 2 atau 3 atau naik kepohon-pohon tinggi yang ada. 

Nah kalau begitu apa kita langsung menyalahkan otoritas pendidikan yang seharusnya memikirkan materi-materi semacam ini juga diberikan kepada anak-anak kita sejak dini? Atau kepada penggede-penggede kita di pusat da daerah yang terkait dengan penanganan Bencana Alam, yang paling senang menangani soal-soal "Pasca Bencana" (Emergency Response; dalam Relief, Recovery & Rehabilitation Actions), yang biayanya relatif besaaaaar. Bukannya menangani upaya pencegahan terhadap timbulnya korban besar di tahap "Pra Bencana" yang lebih kepada aktifitas yang berhubungan dengan upaya preventif yang biayanya relatif tidak besar, karena hanya menyangkut pelatihan dan sosialisasi. 

Silahkan anda semua menilai sendiri, siapa yang perlu disalahkan kalau ada bencana terjadi, dan banyak korban sia-sia berjatuhan. 

Mari kita introspeksi bersama, tidak ada salahnya kita melihat 'best practices' yang sudah diadopsi tetangga-tetangga kita, mahal memang biaya yang harus ditanggung kita untuk mereplikasikan 'lessons learned'...tapi tidak apa dari pada terlambat sama sekali. 

Artikel ini adalah sepenuhnya dalam konteks pemikiran tentang pendidikan dasar di negeri ini, khususnya di titik-titik lemah yang perlu dibenahi dan disempurnakan, karena selama ini dirasakan masih jauh dari harapan kita semua. Didalam konteks pendidikan itulah, saya merasa dapat menyumbangkan sesuatu di bidang yang selama ini masih terabaikan. Khususnya entitas pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis dalam hal pencegahan, atau setidak-tidaknya mengurangi jatuhnya korban yang sia-sia atau kerugian materi masyarakat, yang tidak terbilang lagi besarnya setiap kita menghadapi bencana alam. Sehingga posting dimaksud bukan berkehendak untuk melawan takdir, atau tidak juga dimaksudkan untuk menafikan apakah kita selama ini memang sudah melupakan ajaran agama dan moral yang kita junjung tinggi. Tapi setidak-tidaknya hanya ingin mengingatkan betapa pentingnya upaya 'memberdayakan masyarakat' dan 'mencerdaskan anak bangsa' dalam hal mengembangkan upaya bersama untuk mengurangi atau mereduksi dampak bencana alam bagi masyarakat di negeri tercinta ini. 

Soal banyaknya korban turis mancanegara di Thailand dan Srilanka, memang 'barangkali' sudah pernah tahu tentang cara-cara menghadapi bahaya Angin Tornado dan Badai Salju yang sangat akrab terjadi di negerinya masing-masing, tapi belum tentu untuk bahaya Gempa dan Tsunami yang datang secara mendadak, karena 'lain lubuk lain ikannya'. Tapi bukan itu yang menjadi pokok masalahnya, tapi andaikata negara-negara disekeliling Lautan Hindia sudah punya lembaga 'tsunami early warning system' seperti yang dimiliki negara kawasan Pasifik yang bekerja 24 jam penuh dan berpusat di Hawaii dan dimonitor diseluruh negara di kawasan Pasifik. Maka dipastikan banyak korban tewas dapat dreduksi di Malaysia, Thailand, Srilanka, India, Maladewa, Somalia, Kenya, sebab gelombang tsunami yang dipicu oleh Pusat Gempa di Pantai Barat Aceh, merambat dari 30-60 menit (pantai di Asian Tenggara ) dan sampai 300 menit (pantai di Afrika), dan 10-15 menit di Pesisir Aceh setelah gempa besar terjadi. Sayangnya semua negara korban tsunami masih belum siap untuk mengantisipasinya dengan memadai, walaupun Pusat Riset Tsunami di Hawaii sudah mencatat terjadinya pergerakan gelombang laut di kawasan Asia Tenggara sesaat setelah terjadinya gempa besar di Indonesia. Sebab pada waktu itu adalah hari minggu ditambah belum ada badan nasional yang stand-by 24jam di negara seputar Lautan Hindia. 

Tetapi dalam artikel ini, saya hanya ingin membatasi diri hanya pada wacana yang berkaitan dengan 'pendidikan'. Oleh sebab itu saya menghidarkan diri dari problematik early warning system dari segi aplikasi teknologi, tetapi lebih kepada aplikasi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam membicarakan Konteks pendidikan yang behubungan secara khusus dengan 'Inisiatif Global dalam Meminimalisasi Dampak Bencana'; maka hal semacam itu dapat dipelajari dan dikaji secara empiris dan akademis, sehingga dapat menghasilkan upaya perencanaan dan persiapan rinci dalam menghadapi ancaman bencana yang sewaktu-waktu dapat datang dihadapan kita. Berdasarkan fenomena seperti tersebut diatas, PBB telah mendeklarasikan dekade 1990-2000 sebagai Dekade Internasional untuk Mengurangi Akibat Bencana Alam, atau 'International Decade for Natural Disaster Reduction (IDNDR)', yang memfokuskan penajaman terhadap penderitaan umat manusia diseluruh dunia yang diakibatkan oleh Bencana Alam, dan sudah saatnya negara-negara di seluruh dunia dapat mengambil langkah-langkah untuk berusaha menguranginya. 

Program PBB tersebut diatas kemudian ditindak lanjuti dalam kegiatan Mid-term Review dari IDNDR, yang diselenggarakan di Yokohama pada bulan Mei 1994. Pertemuan internasional tersebut dihadiri oleh wakil dari berbagai negara, LSM, masyarakat ilmiah, dunia usaha, kalangan industri dan media secara bersama berbagi pengalaman, melakukan penilaian permasalahan, serta berusaha melakukan perubahan stratejik. Pertemuan Yokohama telah menghasilkan suatu tonggak bersejarah dari banyak negara untuk secara proaktif melakukan upaya tindak lanjut yang sangat substansial dalam mengantisipasi masalah yang sangat signifikan didalam mengurangi dampak bencana terhadap masyarakat. 

'The Yokohama Message' atau 'Pesan dari Yokohama', diantaranya adalah merefleksikan gambaran yang sebenarnya dari suatu tuntutan yang sangat mendasar dan nyata dari masyarakat, yang membutuhkan perlindungan dari pemerintah., karena ketidak keberdayaan mereka dalam menghadapi ancaman bencana alam yang dapat datang secara tiba-tiba dan bersifat merusak. 

Beberapa diantara pesan-pesan dari pertemuan Yokohama, adalah : 

.Mereka yang terkena bencana sebagian besar adalah masyarakat miskin dan dari kalangan yang mempunyai kedudukan sosial rendah di negara-negara sedang berkembang, dan sangat tidak berdaya dalam menghadapi situasi bencana yang begitu tiba-tiba dan sangat merusak. 

.Pencegahan Bencana, Mitigasi dan Kesiapan Menghadapi Bencana adalah lebih baik daripada Tindakan Penanggulangan Bencana. 

.Tindakan Penanggulangan Bencana sendiri adalah merupakan upaya bantuan yang membutuhkan biaya yang relatif sangat besar. 

.Upaya pencegahan memberi kontribusi terbesar terhadap peningkatan keselamatan umat manusia. 

Indonesia, yang keadaan alamnya dikelilingi oleh laut, gunung berapi, sungai-sungai besar serta patahan sesar dan pertemuan antara lempeng benua Asia dan Australia, sangat rawan terhadap terjadinya berbagai jenis bencana alam yang membahayakan jiwa penduduknya, baik dari segi ukuran maupun intensitasnya. Dengan jumlah penduduk yang tertinggi no 5 di dunia, Indonesia juga mempunyai tingkat resiko yang tergolong sangat rawan terhadap ancaman bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, kekeringan dan kebakaran hutan. Sementara itu, disamping kerawanan bencana sangat berbeda dari suatu daerah dengan daerah lainnya, dengan kondisi yang remote, sebagai negara kepulauan mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi didalam upaya penyelamatan korban bencana dan rehabilitasi kerusakan yang terjadi. 

Berbagai macam bencana alam yang bersifat merusak dan membahayakan kelangsungan hidup warga baik yang hidup dikota-kota besar, di desa-desa terpencil, dapat saja terjadi setiap saat tanpa dapat menghidarinya. Walaupun ancaman bencana alam tidak dapat di tolak dan di elak-kan oleh siapapun juga, tetapi setidaknya pemerintah dan masyarakat harus dapat menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya, melalui manajemen pengembangan sistim prakiraan bencana beserta penyebarluasan informasi peringatan dini kepada masyarakat (Early Warning Disaster Preparadness). 

Pada wacana pemikiran diatas, sudah waktunya kita melakukan pembenahan-pembenahan dibidang pendidikan dasar dan pendidikan masyarakat, yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan upaya manusia untuk mulai memikirkan usaha untuk meminimalisir dampak-dampak yang sangat merugikan dari setiap event bencana alam yang terjadi disekitar kita. 

Mari kita bersama memikirkan hal-hal yang sederhana yang mampu kita lakukan untuk mempressure Senayan, agar mulai memikirkan usulan 'kecil' tapi berdampak 'besar' seperti ini. Sehingga akhirnya menjadi agenda setting dari Depdiknas untuk dijadikan formulasi kebijakan publik dikalangan eksekutif maupun legislatif di tahun kerja Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005.
Wassalam,
SW

KETIDAK ADILAN
DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Oleh ; M. Nahdi

Persoalan yang senantiasa menjadi sorotan dalam dunia pendidikan masih saja seputar kualitas output (lulusan) yang ditandai dengan rendahnya standar nilai ujian akhir nasional yang ditetapkan pemerintah. Rendahnya standar yang ditetapkan pemerintah ini secara tidak langsung menggambarkan harapan kita terhadap kualitas lulusan yang rendah pula. Namun demikian di sisi lain ternyata bahwa, sebagian besar para praktisi pendidikan di lapangan sangat "resah" dengan adanya aturan penetapan standar kelulusan siswa tersebut, mengingat kualitas prosesnya yang masih belum dapat menjamin pencapaian angka standar. 

Standar 4,0 memang suatu angka yang relatif sangat rendah untuk dapat diterima sebagai suatu gambaran terhadap kualitas hasil dari proses pendidikan yang kita harapkan. Namun demikianlah realitas yang ada. Sementara bagi sebagian besar pihak praktisi di lapangan yang sangat memahami kualitas proses yang dilakukan menganggap itu (baca; 4,0) sebagai standar yang sangat tinggi untuk dapat dicapai oleh para siswanya. 

Padahal menurut asumsi saya bahwa, standar 4,0 yang diatur oleh pemerintah tidak didasarkan atas target mutu hasil yang dicita-citakan. Akan tetapi lebih merupakan hasil penyesuaian terhadap kenyataan di lapangan. Dan Penetapan angka 4,0 ini tidak dapat memberikan cukup energi bagi para praktisi untuk memacu kinerja dan meningkatkan kualitas proses pendidikan. Apalagi untuk mencapai standar tersebut masih mentolerir adanya kebijaksanaan untuk merekayasa proses pelaksanaan ujian oleh pengawas ujian dan rekayasa pemberian nilai oleh panitia ujian/guru. Sehingga kita tidak pernah benar-benar dapat memperoleh gambaran tentang mutu hasil dari proses pendidikan yang kita lakukan. 

Meski demikian ada juga sebagian kecil sekolah yang dapat melampaui standar yang ditetapkan pemerintah dengan mudah. Hal ini menggambarkan adanya disparitas mutu pendidikan, dan kenyataannya memang disparitas yang terjadi cukup tajam. Ketika misalnya kita mencoba membandingkan antara sekolah negeri dengan swasta, kemudian antara sekolah yang berada di bawah lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan yang berada di bawah Departemen Agama, maka terlihat dengan jelas terjadi perbedaan yang sangat tajam dari aspek kulitas proses dan kualitas hasil. Contoh yang lebih kongkrit misalnya antara SMU Negeri 1 Mataram dengan SMU Muhammadiyah Masbagaik (antara negeri dan swasta), terjadi disparitas mutu hasil dan mutu proses yang sangat tajam. Contoh lain misalnya, antara SMU 1 Selong dengan Madrasah Aliyah NW Lendang Nangka (antara Lembaga pendidikan dibawah Depdiknas/negeri dengan Depag/swasta) nampak terjadi hal (disparitas) yang sama tajam. 

Persoalan disparitas dalam aspek kualitas proses dan kualitas hasil pendidikan ini, disamping faktor-faktor yang lain, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh ketidak adilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan bidang pendidikan. Hal ini (ketidak adilan dalam penerapan kebijakan bidang pendidikan), sangat dirasakan terutama oleh lembaga pendidikan swasta (private education) misalnya dalam distribusi bantuan anggaran biaya operasional pendidikan, distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru) ke sekolah-sekolah, distribusi bantuan baik yang berbentuk pengadaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan, distribusi pemberian beasiswa, distribusi peluang dan kesempatan mengakses informasi tentang pendidikan, dsb. 

Persoalan ketidak adilan pemerintah ini bahkan juga dirasakan sangat jelas oleh para guru terutama oleh mereka yang berada di sekolah-sekolah swasta, misalnya dalam mengakses peluang dan kesempatan bahkan informasi untuk membina dan meningkatkan karir profesi keguruan. Demikian juga lembaga pendidikan swasta selama ini sering menjadi obyek pungli bagi oknum pejabat dan pengawas pendidikan. 

Di sisi lain pada sekolah-sekolah negeri, pemerintah hampir memberikan seluruh biaya operasional, berbagai jenis bantuan sarana dan fasilitas, tenaga guru, dan bahkan akses informasi lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta. Meski demikian masih banyak sekolah negeri yang memungut "uang iuran pendidikan" (atau dengan istilah yang lain) yang cukup besar, dan bahkan lebih besar dari lembaga pendidikan swasta. Hal ini semakin menambah beban orang tua, sehingga banyak yang mengeluhkan semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan pada lembaga pendidikan negeri. 

Ironisnya pemahaman tentang konsep Managemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sedang dikembangkan dengan eksisnya lemabga baru Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan, lebih dimaknai sebagai sebuah pergeseran kewenangan dari sekolah ke komite untuk memutuskan jumlah dan jenis pungutan uang iuran dari orang tua siswa. Jadi paradigma komite sekolah sebenarnya sama dengan BP3, karena dalam praktiknya yang terjadi tidak ada unsur kreatifitas komite untuk mencari dan memobilisasi sumber dana dari masyarakat kecuali dari orang tua siswa untuk membantu proses pendidikan di sekolah. Dan kenyataanya jumlah pungutan semakin besar dan jenisnya semakin banyak kepada orang yang sama, sehingga terjadi banyaknya keluhan orang tua siswa terhadap semakin tingginya biaya pendidikan anak. 

Terhadap persoalan distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru), juga menunjukkan ketidak adilan yang sangat nyata baik secara kualitatif maupun kuantitatif diberikan kepada sekolah negeri. Sehingga terkesan pemerintah lebih ingin menunjukkan diri sebagai pemain pendidikan yang siap berkompetisi secara tidak adil dengan masyarakat (swasta), dari pada sebagai regulator yang mengatur dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kompetisi yang sehat antar masyarakat (lembga pendidikan) itu sendiri. 

Terhadap distribusi bantuan sarana prasarana dan fasilitas seperti pengadaan buku & alat pelajaran, saya kira kita semua tahu terjadi ketimpangan yang luar biasa misalnya di beberapa sekolah negeri terdapat buku-buku dan alat pelajaran yang kurang efektif karena jumlahnya banyak. Sementara di sekolah-sekolah swasta tidak ada, kecuali sekolah itu mampu membeli sendiri. 

Dalam distribusi beasiswa, juga terdapat kebijakan yang kurang memenuhi rasa keadilan misalnya dari segi jumlah penerima beasiswa di sekolah swasta selalu lebih sedikit dari sekolah negeri, padahal kenyataan menunjukkan bahwa, orang tua yang relatif mampu secara ekonomi kecenderungannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Dan bagi yang tidak mampu lebih memilih ke sekolah swasta. Alasan utamanya sebagian besar bukan karena kemampuan/prestasi intelektual anaknya yang rendah, tetapi lebih dominan karena biaya pendidikan di sekolah negeri terlalu tinggi. 

Kemudian dalam hal distribusi peluang untuk mengakses informasi dan kebijakan pendidikan juga terdapat ketidak adilan misalnya, untuk sosialisasi kebijakan dan sistem pendidikan, selalu saja yang menjadi sasaran utama adalah guru-guru/sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta terasa sangat kurang mendapat perhatian. Sehingga pemahaman tentang kurikulum/sistem pendidikan dan berabagai kebijkan di bidang pendidikan kurang konprehenship untuk dapat diimplementasikan dengan baik oleh mereka (tenaga kependidikan) yang berada di sekolah-sekolah swasta. 

Demikianlah pemerintah tidak berupaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi lembaga pendidikan swasta untuk dapat berkompetisi dengan sekolah negeri secara adil. Padahal kalau kita pahami subyek sekaligus obyek pendidikan (siswa) itu baik di sekolah swasta maupun negeri semuanya adalah anak bangsa, warga negara yang memiliki hak sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 45 termasuk hasil amandemen. 

Kenyataan ketidakadilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan di bidang pendikan telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap inisiatif masyarakat untuk membangun dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membantu pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara. Hal ini juga memberikan kesan bahwa hanya pemerintah yang mampu berhasil dalam mengelola pendidikan dengan kualitas yang baik. 

Jika hal ini (ketidak adilan dalam kebijakan pendidikan) dibiarkan terus maka, akan timbul bahkan sudah terjadi sikap apatis yang akan mematikan semangat dari sekolah/madrasah swasta untuk mau dan mampu berkompetisi dengan sekolah negeri secara berkeadilan. 

Implikasi yang nyata dari ketidak adilan ini adalah terjadinya disparitas mutu hasil pendidikan yang sangat tajam. Bagaimana mungkin untuk kurikulum (materi), tujuan , target penguasaan materi dan dengan alat ukur yang sama kita dapat memperoleh hasil yang sama apabila sarana-prasarana, fasilitas, finansial, dan tenaga kependidikan yang jauh berbada secara kualitas maupun kuantitasnya. Mutu hasil pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas proses. Sementara kualitas proses sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas, sarana, tenaga guru (SDM), serta finansial.

KITA WAJIB PILIH PRESIDEN YANG PEDULI PENDIDIKANOleh : Muhammad Zulkifli MochtarSaat Rusia meluncurkan pesawat Sputnik keluar angkasa diakhir tahun 1957, Amerika Serikat terkejut dan merasa tertinggal dari rivalnya tersebut. Masyarakat dan Politisi AS panik, serta-merta menuding pendidikan sebagai biang keladi ketertinggalan bangsa AS dari Rusia. Presiden John F Kennedy segara menanggapi serius "rendahnya mutu" pendidikan AS saat itu dan mencanangkan program pressing mutu pendidikan. Akhirnya, tahun 1969, Neil Amstrong berhasil mendaratkan Apollo di Bulan. Inilah yang disebut Efek Sputnik Amerika, keterkejutan atas ketertinggalan yang membawa kepada kesadaran masyarakat Amerika perlunya sebuah perubahan. Bangsa kita sebenarnya sudah sangat sering dikejutkan berbagai lembaga internasional yang memberi penilaian yang tidak enak didengar�Atermasuk ketika badan internasional yang bernaung di bawah organisasi PBB, United Nations Development Programme (UNDP) mengeluarkan laporan negara-negara menurut peringkat Human Development Index (HDI) 2004. Negara kita ada di peringkat 111 dari 175 negara. Mungkin,karena persoalan mutu manusia kita yang rendah sudah sering kita dengar, makanya pemerintah biasa - biasa saja dan sama sekali tidak menanggapi serius persoalan ini. Yang memprihatinkan, menurut laporan tersebut, mengapa kualitas manusia Indonesia benar - benar jauh lebih lebih rendah dari Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83)? Mengapa kualitas kita lebih rendah dari negara-negara "terbelakang" seperti Kirgistan (110), Guinea-Katulistiwa (109), dan Aljazair (108)? Meski tidak seluruh data yang mendukung adalah data yang lengkap dan aktual, pada dasarnya HDI adalah satuan yang dikembangkan UNDP guna mengukur kesuksesan pembangunan suatu negara. HDI adalah angka yang diolah berdasarkan tiga dimensi; yaitu panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa indikator; yaitu kesehatan (dan kependudukan), pendidikan, serta ekonomi. Selama ini, hanya pendapatan saja yang sering menjadi tolok ukur kesejahteraan atau kemajuan pembangunan suatu bangsa. Tetapi HDI menggabungkan ukuran-ukuran harapan hidup, pendidikan, literasi dan pendapatan, untuk melihat pembangunan suatu negara secara lebih luas. Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian balita (under-five mortality rate), dan lainnya. Indikator kependudukan menyangkut usia harapan hidup (life expectancy), penduduk yang tak mempunyai harapan hidup sampai usia 60 tahun (people not expected to survive to age 60), dan lainnya. Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan sampai kelas lima SD (children reaching grade 5), angka partisipasi pendidikan (enrolment ratio), dan lainnya. Adapun indikator ekonomi antara lain menyangkut indeks kemiskinan (poverty index). Dari berbagai indikator itu, HDI merupakan ukuran keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu bangsa. Implikasinya, HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebaliknya, HDI yang rendah menunjukkan ketidakberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu negara. Yang menarik dan semestinya kita garis bawahi, Berdasarkan Laporan UNDP tersebut, Human Development Indeks Indonesia memang terus melorot semenjak 1975. Data ini bahkan sudah dikonfirmasi dengan penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan HDI Indonesia memang mengalami kemunduran terutama sejak 1996. Kecenderungan penurunan HDI ini utamanya untuk komponen angka kematian bayi dan angka bebas buta hurup di antara penduduk dewasa. Itu berarti, kualitas manusia kita tidak berkembang-berkembang dari tahun 1974,bahkan terus melorot ? Program pengembangan SDM model apa yang kita lakukan saat ini ? Sumber daya manusia kita selama kurang lebih 30 tahun tanpa peningkatan, menunjukkan betapa tidak adanya pemikiran, keseriusan dan kemauan pemerintah bangsa ini terhadap sebuah perubahan. Sampai hari ini,bangsa Indonesia bisa dikata memang masih terpuruk baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Sebagian besar masyarakat dan politikus kita menyatakan bahwa itu semua disebabkan terjadinya badai krisis di Asia yang menghantam sistem perekonomian Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu. Berawal dari sinilah selanjutnya aneka ragam krisis muncul di permukaan. Analisis seperti itu mungkin ada benarnya, akan tetapi mendudukkan krisis ekonomi sebagai satu-satunya determinan tentulah tidak tepat. Mengapa Korea Selatan,Thailand dan Malaysia sudah bisa kembali berpacu, sementara kita belum bisa sempurna berdiri tegak ? Kita semestinya sepakat bahwa sebenarnya ada faktor yang lebih fundamental sebagai penyebab keterpurukan kita; yaitu ketidakberhasilan pendidikan nasional kita. Sesungguhnyalah hari ini kita sedang menuai dampak jangka panjang atas ketidakberhasilan pendidikan nasional. Kekurangtangguhan bangsa Indonesia hari ini merupakan akibat dari perjalanan buruk pendidikan 15, 20 sampai 30 tahun yang silam. Selama ini kita kurang bersungguh-sungguh mengurus pendidikan dan hari ini kita tengah menuai dampaknya. Karena pendidikan kita tidak menghasilkan kader-kader bangsa yang berkemauan tulus dan berkemampuan profesional maka kita tidak sanggup menahan krisis; dan ketika aneka krisis sudah berkecamuk yang menghantar kita dalam keterpurukan maka kita pun sulit untuk melakukan recovery. Kita dapat belajar dari Australia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan sebagainya; ketika badai krisis menyerang negara-negara Asia mereka tetap saja survive. Kenapa? Karena mereka memiliki generasi yang tangguh untuk melawan krisis. Dan, ketangguhan ini merupakan dampak positif dari pelaksanaan pendidikan nasionalnya. Dalam soal anggaran misalnya; sejak dulu pemerintah kita tidak mau mengalokasi anggaran pendidikan dalam jumlah yang memadai. Dari tahun ke tahun rasanya belum pernah satu kali pun besarnya anggaran pendidikan kita melebihi angka 10 persen dari total anggaran negara. RAPBN 2004 hanya menganggarkan dana pendidikan sebesar 7 persen,jauh dari janji-janji 20 persen sebelumnya. Akibatnya biaya pendidikan di Indonesia terlalu mahal untuk kemampuan ekonomi masyarakat. Bukan hanya dalam perguruan tinggi, biaya pendidikan untuk sekolah dasar dan menengah masih sangat mahal bagi masyarakat kita. Biaya pendidikan yang harus ditanggung untuk memasuki sekolah sangat beragam dan jumlahnya pun sangat besar,dari uang bangunan, uang buku, uang seragam, uang ujian, belum lagi pungutan-pungutan lainnya. Dengan jumlah pengangguran tinggi dan pendapatan sebagian besar penduduk yang rendah, besarnya biaya yang harus ditanggung untuk bersekolah tidak dapat ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Kita tak mau menengok realitas ke kanan - kiri; misalnya ke Malaysia, Singapura, Australia, dan Selandia Baru yang mengalokasi anggaran pendidikan setidak-tidaknya 15 persen dari total pengeluaran setiap tahun. Anggaran pendidikan di Malaysia sangat sering mencapai angka 20 persen. Dua puluh tahun lalu Malaysia masih menjadi "murid" kita; banyak pemuda Malaysia dikirim ke Indonesia untuk menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi kita. Di sisi lain pemerintah Malaysia juga mendatangkan banyak guru, dosen, dan peneliti kita untuk mengembangkan pendidikan nasionalnya. Para pejabat pemerintah Malaysia memiliki komitmen dan sense of education yang memadai dengan mengalokasi anggaran pendidikan secara signifikan. Walhasil, Malaysia maju berkembang dengan dengan sumber daya manusia yang tangguh. Dalam Human Development Report pertama tahun 1990, UNDP mengingatkan, tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan manusia (human welfare). Dengan ini mau ditegaskan, indikator kemajuan tidak boleh dibatasi pada pendapatan per kapita, tetapi harus mencakup kemajuan pendidikan. Bangsa yang maju adalah bangsa yang putra-putrinya cerdas dan matang. Hanya orang-orang cerdaslah yang dapat mengubah nasib mereka dan nasib sebuah bangsa Sekalipun kita meyakini bahwa laporan UNDP itu tidak 100 persen valid, apa salahnya kita merasa terkejut, terpukul dan menarik pelajaran dari publikasi itu ? Lebih rendahnya kualitas manusia Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan sebagian negara terbelakang harus kita akui untuk dijadikan alat pemicu dan pemacu guna perbaikan diri. Jika tidak, Implikasi ketidaksungguhan kita mengelola pendidikan hari ini akan terasa akibatnya lima belas sampai tiga puluh tahun mendatang. Saat itu, era perdagangan bebas dunia sudah berputar dan bukan mustahil, manusia - manusia kita hanya akan menjadi tenaga - tenaga pekerja dinegara sendiri. Dalam waktu dekat, bangsa Indonesia akan memilih presiden sekaligus pemerintahan baru. Presiden baru nantinya harus segera terkejut dengan kondisi sumber daya manusia,seperti bangsa AS yang pernah didera efek Sputnik. Pascaefek Sputnik, pemerintah AS menyediakan dana tak terbatas untuk pendidikan, memberdayakan daerah dan kota guna memajukan pendidikan, dan membantu unit-unit masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu. Dibanding kita kasak - kusuk berdebat mengenai bolehkah presiden perempuan,mengenai presiden dari militer atau sipil, dari golongan Orde Baru atau bukan, nasionalis atau agamis - lebih baik kita menyatukan pendapat bahwa presiden mendatang harus sosok yang bisa memajukan pendidikan bangsa. Kita harus bisa sepakat bahwa kita wajib memilih presiden yang mau peduli dengan ketertinggalan pendidikan bangsa. Seharusnya itulah kriteria nomor satu dan yang paling wajib kita dahulukan tentunya.

Artikel: Pendidikan swasta dan demokrasi

 

Pada suatu hari ketika saya menjabat sebagai Ketua Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang, Jawa Tengah, saya didatangi oleh pejabat Litbank P dan K Jateng. Yang bersangkutan menanyakan tentang visi, misi dan kebijakan pengelolaan sekolah katolik. Mendengar permintaan itu saya balik bertanya:"Lho bapak khan pejabat pendidikan pemerintah, mengapa bertanya kepada kami, yang swasta?". Bapak tersebut menjawab:"Lho pendidikan atau persekolahan swasta khan lebih dulu ada daripada sekolah yang diselenggarakan pemerintah, c.q. pemerintah Indonesia". Mendengar jawaban itu, dalam hati saya mengakui: benar juga, memang sekolah swasta ada lebih dulu dari sekolah pemerintah, entah itu yang diselenggarakan oleh umat Katolik, Kristen, Islam, Budha atau Hindu atau "swasta" pada umumnya alias masyarakat. 

Maka yang menjadi pertanyaan refleksif adalah mengapa 'swasta' menyelenggarakan persekolahan. Sejauh saya mencoba mencermati dan meneliti berbagai sumber, tujuan utama adalah untuk mencerdaskan anak bangsa. Kecerdasan ini menjadi penting dan mutlak agar orang/anak yang bersangkutan dapat tumbuh dan berkembang, dapat menerima kebenaran-kebenaran dan keutamaan-keutamaan hidup yang menyelamatkan, yang menjiwai 'kelompok swasta' yang bersangkutan, entah kelompok agama atau sadar pendidikan. Bukankah masing-masing agama memiliki misi untuk menyampaikan keselamatan atau kesejahteraan hidup bagi siapapun, tanpa pandang bulu. Harus diakui tawaran-tawaran tersebut merupakan hal baru, yang tidak begitu mudah untuk dicerna dan hanya mereka yang cerdas akan dengan mudah mencerna serta menghayatinya dengan benar. Di situlah pentingnya pendidikan atau persekolahan. 

Dari sisi visi atau misi katolik, perkenankan kami mensharingkan atau berbagi rasa. Kami, orang katolik atau kristen, ingin mengikuti Yesus, Penyelamat Dunia. Dunia harus selamat itulah misi kita, maka di mana ada dunia belum selamat disitu kami merasa dipanggil untuk berkarya. Kebodohan merupakan kendala untuk selamat atau sejahtera. Dan saya yakin visi misi ini merupakan visi umum. Itulah yang menjadi visi misi pada awal abad 20 dimana para pastor dan umat katolik mendirikan sekolah-sekolah, jauh sebelum NKRI berdiri. Dan saya yakin pada awal abad yang sama umat Islam dan yang lain juga mendirikan menyelenggarakan pendidikan yang sama. Produk dari penyelenggaraan pendidikan tersebut kemudian menjadi 'bapa-bapa bangsa' yang cerdas dan beriman. 

Harus diakui bahwa penyelenggaran pendidikan pada masal awal itu tidak terlalu banyak aturan yang mengikat alias demokratis. Jiwa demokratis ini sesuai dengan visi pendidikan katolik yaitu "kebebasan dan cintakasih" sebagaimana telah saya coba uraikan sebelumnya. Dalam suasana kebebasan dan cintakasih tidak banyak aturan. Sejauh saya cermati dari waktu ke waktu pemerintah memiliki kecenderungan mau mengatur semuanya. Apakah hal ini tidak bertentangan dengan prinsip 'kebebasan dan cintakasih'. Sekali lagi saya katakan di sini "manusia/anak diadakan, dilahirkan, dibesarkan/dididik" oleh orangtuanya dalam dan oleh kasih serta kebebasan. Dalam suasana itu pula penyelenggaran pendidikan yang baik perlu diusahakan. Orangtua adalah pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya, maka proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah perlu ada, bahkan mutlak ada, kerjasama dengan orangtua. Jika para orangtua tidak mampu baru minta bantuan masyakarat umum, dan baru kemudian dari pemerintah . Itulah kisah perjalanan pendidikan swasta, yang telah sukses melahirkan "bapa-bapa bangsa" yang cerdas dan beriman.

Artikel:

PERMASALAHAN PENDIDIKAN SEKARANG INI 

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tecermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. 

Berbicara tentang anggaran pendidikan ini memang sangat dilematis. Dalam kenyataannya, permasalahan utama sebenarnya bukan pada nilai anggaran saja. Hal ini terbukti bahwa meskipun anggaran kita kurang dari angka 20 persen dari APBN. Tetapi dalam hal ini pemerintah berusaha menaikkan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun. Pertanyaannya adalah bahwa, apakah kenaikan anggaran itu telah dapat mendongkrak pencapaian hakikat penyelenggaran pendidikan itu sendiri? Belum lagi adanya berbagai penyalahgunaan anggaran pendidikan, mulai dari masih maraknya pungutan liar dari tingkat perguruan tinggi sampai dengan penyelewengan dana BOS. 

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan angaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pingiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. 

Ada beberapa masalah utama pendidikan kita saat ini yang perlu dicermati, yaitu rendahnya kualitas SDM pendidikan dan sistem pendidikan yang kita pakai. Banyaknya pelajar Indonesia masih belajar dalam taraf menghafal saja. Dimana hanya berbekal hafalan tidak membuat tambahnya suatu kecerdasan maupun tambahnya kedewasaan seseorang.Untuk mengatasi masalah itu, perlu usaha keras dari pelajar, pangajar, dan pemerintah sebagai pemegang berwenang dan mengelola dana. Bagaimana agar pelajar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki para anak didik melalui kendali dan kontrol dari guru. Sedangkan pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana ada upaya agar tercukupi. Dengan buruknya sarana dan prasarana pendidikan dan kurikulum yang kurang efektif. Semua itu berasal dari hal yang terpisah-pisah, yaitu sistem pendidikan dan taraf kemampuan SDM pendidikan.Untuk meningkatkan alokasi dana pendidikan yang memadai dengan meletakkan pembangunan pendidikan sebagai perioritas pertama. 

Selain itu dengan meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap peran guru sebagai pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa. Posisi guru dan pendidik harus dihargai sebagai profesi yang mulia. Namun, peningkatan kesejahteraan guru ini tidak hanya meningkatkan gaji saja, melainkan pada saat yang sama mutu pendidikan harus lebih meningkat. Tanggung jawab sejauh mana kontrol guru terhadap murid, terhadap proses belajar mengajar. Apakah anak didik telah mampu menerima materi yang disampaikan hingga dapat bermanfaat sebagai bekal hidup dan matinya. Karena itu, sistem penggajian harus dikaitkan dengan peningkatan kinerja dan kepribadian pengajar.







Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Dresses. Powered by Blogger